Konvensi Ujian Nasional menyepakati
bahwa UN (Ujian Nasional) bagi peserta didik akan tetap diadakan pada
tahun 2014 mendatang. Konvensi yang menuai banyak protes dari para
aktivis pendidikan tersebut, karena dianggap tidak membahas substansi
dari permasalahan carut marut ujian nasional pada tahun-tahun
sebelumnya. Padahal membuat hasil evaluasi secara seragam tanpa melihat
sarana, prasarana, kemampuan guru mapun siswa dari tiap sekolah-sekolah
seharusnya itu merupakan hal yang tidak tepat. Bukankah lebih baik jika
kementrian pendidikan dan kebudayaan membangun terlebih dahulu sarana
baik itu fisik (gedung sekolah dan prasarananya) maupun SDM (guru atau
pendidik) yang merupakan modal awal dalam mendidik calon generasi muda.
Tidak hanya tetap melaksanakan UN 2014,
tetapi prosentase kelulusan yang harus didapat siswa juga akan naik dari
yang sekarang 60 % UN + 40 % US, mulai UN tahun 2015 (UN tahun depan
masih sama prosentasenya) akan makin naik 70 % lalu 80 % hingga nanti
100 %. Sebagai seorang pendidik yang juga ikut merasakan bagaimana ujian
nasional itu, saya hanya mengelus dada karena hasil konvensi yang tidak
mencerminkan harapan saya pribadi dan juga masyarakat pada umumnya.
Bagi saya sudah banyak contoh kasus di media bahwa ada sebagian sekolah
yang melakukan ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN demi siswanya lulus
100 % dan sekolah tersebut mendapat gelar “sekolah dengan kelulusan UN
100 %.” Buat apa gelar tersebut jika siswa yang dihasilkan adalah
produk-produk dari ketidakjujuran sistem pendidikan nasional yang
mengedepankan hasil dengan menghalalkan segala cara, kalau perlu dengan
mendapat bocoran jawaban yang pasti beredar menjelang UN berlangsung.
Generasi muda ini sebenarnya membutuhkan
pembelajaran karakter tidak hanya teoritis tetapi juga prakteknya. Jika
UN tetap ada, bahkan prosentase dinaikkan tiap tahun, maka yang dikejar
adalah nilai dan bukan pembelajaran. Jika kelulusan siswa hanya
ditentukan 3-4 hari saat UN, maka buat apa seorang siswa SMP dan SMA
belajar 3 tahun ? Ibaratnya pembelajaran selama 3 tahun ditentukan hanya
dalam 3 atau 4 hari saja di level terakhir yaitu kelas 9 dan 12. Apakah
ini yang disebut mencerdaskan kehidupan bangsa ? Semoga saja hasil
konvensi tersebut dapat dievaluasi kembali dan pemerintah dalam hal ini
kemendikbud dengan mendengarkan masukan dari para ujung tombak di
lapangan yaitu para guru seperti saya ini. Akan tetapi, jika tetap pada
pendiriannya saya hanya berharap semoga saja pemilu tahun 2014 mendatang
pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang berpihak pada pembangunan
manusia melalui proses yang benar, dan bukan hanya semata-mata angka
kuantitatif maupun standarisasi kelulusan.
Baca Juga:
Baca Juga:
0 komentar:
Posting Komentar